Di sudut dapur rumah kayu itu, aroma khas bawang putih yang digoreng perlahan menguar, menyatu dengan semilir angin senja yang menyusup melalui celah-celah jendela tua. Ibu, dengan kerudung lusuhnya, tampak khusyuk menggoreng kacang tanah yang telah direndam dalam bumbu rahasia keluarga.
Kacang Tujin, begitu kami menyebutnya, bukan sekadar camilan; ia adalah jembatan penghubung antara masa lalu dan masa kini, antara kenangan dan harapan.
Setiap kali Ibu membuat Kacang Tujin, rumah kami seakan hidup. Suara gemericik minyak yang mendidih, tawa adik-adik yang berlarian, dan lantunan tembang lawas dari radio tua di sudut ruangan, semuanya berpadu menciptakan harmoni yang tak tergantikan.
Namun, waktu terus berputar. Tradisi yang dulu lekat kini mulai memudar, tergantikan oleh gemerlap modernitas yang seringkali hampa makna. Kacang Tujin, yang dulu menjadi simbol kebersamaan, kini jarang ditemui, tersembunyi di antara deretan camilan instan di rak-rak toko.
Kini, di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, aku berusaha menjaga warisan ini. Mengajarkan anak-anakku cara membuat Kacang Tujin, menceritakan kisah di balik setiap butirnya, berharap mereka memahami dan menghargai makna di balik tradisi ini.
Kacang Tujin bukan sekadar camilan. Ia adalah pengingat, bahwa di tengah segala perubahan, ada nilai-nilai yang harus dijaga. Sebuah warisan yang mengajarkan kita untuk selalu menghargai kebersamaan dan cinta yang tulus.